Jumat, 21 Juni 2013

Inspirasi Masa Kecil..Noni

Dulu..dulu sekali pernah nulis tulisan ini.Terus sekitar tahun 2010-an coba masukin tulisan ini ke WSC Inspirational Public Figure dan nggak menang..hahaha..Tapi malem ini mau share lagi tulisan jadul ini karena akan berhubungan dengan update blog berikutnya. Please welcome.. Noni!!
Inspirasi Masa Kecil

Saya tidak tahu darimana awalnya muncul ketertarikan terhadap tokoh Noni dalam serial Noni karya Bung Smas. Satu- satunya yang saya ingat hanyalah bahwa buku terbitan tahun 1986 itu saya temukan di kamar bibi pada saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Perkenalan yang biasa saja memang, tapi dari buku tua yang diterbitkan pada saat saya baru berumur nol tahun itu telah membuat saya jatuh cinta pada sosok Noni. Sosok seorang gadis kecil beranjak dewasa yang terasa hidup dan nyata bahkan hingga saat ini. Noni begitu nyata dalam kesederhanaan hidupnya. 

Mungkin terlalu naïf kalau saya bersikap sok tahu dan seolah-olah sangat mengenal Noni. Padahal, sejujurnya dari serial Noni yang mungkin ada lebih dari sepuluh judul, saya hanya punya satu buku yaitu buku satu-satunya yang saya temukan di kamar bibi saya yang berjudul “Sandiwara Berdarah”. Tapi dari satu buku yang sudah saya baca berulang-ulang kali itu, saya merasa begitu mengenal Noni dan kehidupannya. Usaha untuk mencari lagi karya Bung Smas yang sudah hilang di pasaran itu bukannya tidak ada. Berulang kali saya berusaha mencari serial lain dari Noni di pasar-pasar yang menjual buku bekas di daerah Bandar Lampung, kota tempat saya berasal dan daerah Palasari di Bandung (yang merupakan kota tempat saya meneruskan pendidikan selepas SMA). 

Usaha lain adalah meminta tolong kepada teman saya di daerah Semarang untuk membantu mencari serial Noni lainnya. Mengapa Semarang? Karena dalam buku itu, Noni diceritakan tinggal di Jalan Subali Makam di Semarang. Sehingga saya berasumsi bahwa buku-buku Noni mungkin masih ada di Ibukota Provinsi Jawa Tengah itu. Tapi hasilnya tetap sama..nihil. Di lain waktu, saat saya mengunjungi Kota Yogyakarta untuk berlibur, Noni tetap jadi prioritas yang saya cari saat memasuki Shoping, yaitu tempat di dekat Benteng Vredeburg yang menjual buku-buku tua. Namun, lagi-lagi saya tidak berhasil menemukan Noni saya. Padahal di dalam Shoping saya banyak menemukan buku-buku tua lainnya yang umurnya sudah pasti jauh di atas Noni. 

Semua pencarian itu sampai saat ini belum berhasil membuat saya menemukan Noni dalam versi lain selain Noni versi “Sandiwara Berdarah”. Noni dalam versi Sandiwara Berdarah adalah buku anak yang kemudian menjadi inspirasi saya. Tokoh Noni sendiri adalah seorang gadis kecil yang beranjak dewasa. Gadis yang tomboy karena didikan keras dari Ayahnya dan juga menghabiskan sepanjang usianya bersama kedua orang kakak lelakinya. Namun bertolak belakang dengan sikapnya yang seperti anak lelaki, Noni juga gadis yang peka, peduli, dan sangat patuh kepada kedua orang tuanya. Benar-benar mewarisi kelembutan Ibunya yang seorang wanita Jawa. 

Noni memang keras kepala tapi dia keras untuk mempertahankan apa yang dia anggap benar. Penampilan Noni memang seperti anak laki-laki,selalu dengan kaos dan celana pendeknya bahkan dia memotong rambutnya dengan model Lady Di (istri Pangeran Charles yang memang sedang naik daun pada masa itu), dan bersikeras tidak mau memakai anting. Selain itu membetulkan genteng bocor dan menggali tanah untuk timbunan sampah sudah menjadi pekerjaan rutinnya. Namun, Noni tidak mengingkari kodratnya sebagai seorang wanita. Di rumah, dia tetap anaknya Ibu yang biasa melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci piring, menyapu lantai, mencuci baju, dan lain-lain.

Noni banyak memberikan pembelajaran dalam kehidupan masa kecil saya yang pada akhirnya memberikan kesan mendalam dan memengaruhi cara berpikir saya. Kepedulian Noni kepada teman-temannya, kasih sayang Noni kepada keluarganya, kepercayaan Noni kepada sahabatnya yaitu Godek (yang merupakan buronan polisi) terasa begitu tulus digambarkan. Sehingga saat saya kecil bahkan hingga saat ini, bagi saya Noni adalah gambaran gadis kecil beranjak dewasa yang nyaris sempurna. Dia begitu baik. Walaupun keras kepala, sikapnya bisa menjadi sangat manis apabila berhadapan dengan orangtuanya sebagai bukti kepatuhan dan pengabdiannya. Dia adalah sahabat semua orang tanpa pernah membeda-bedakan, perhatiannya begitu tulus dan tidak berlebihan, selain itu yang sewaktu kecil sering membuat saya iri adalah Noni selalu mengalami hari-hari yang seru dan berwarna dengan semua kisah petualangannya dengan sahabatnya, Godek.

Seluruh aspek dalam buku Noni versi Sandiwara Berdarah merupakan inspirasi saya. Bung Smas telah benar- benar berhasil menghidupkan tokoh Noni menjadi sahabat anak-anak pada masa itu. Beliau yang mempunyai banyak “nama pena” ini (bahkan dalam sebuah artikel saya pernah membaca kalau ia bahkan sering lupa akan nama pena yang dipakainya) juga telah berhasil menghidupkan karakter “Pulung”(yang dihadirkan dalam bentuk serial juga seperti Noni). Ia banyak memengaruhi gaya penulisan saya. Gaya penulisannya yang apa adanya dan detail memudahkan saya untuk membayangkan seperti apa sosok Noni itu dan ikut masuk ke dalam seluruh kehidupannya bahkan bisa ikut membuat saya merasakan kesedihan yang Noni rasakan apabila dia sedang dalam masalah. Namun sayang, Bung Smas sang inspirasi itu ternyata masih tetap penuh misteri buat saya. Siapa nama sebenarnya pun saya tidak tahu. Yang saya tahu, saat ini Bung Smas menetap di Bekasi bersama istri dan kucing-kucingnya. (Itu saya ketahui dari blog Bapak Benny Rhamdani yang sangat-sangat beruntung mempunyai kesempatan untuk bertemu dengan Bung Smas). Dari blog tersebut jugalah saya mendapat foto diri Bung Smas yang akhirnya menuntaskan rasa ingin tahu saya tentang sosok seorang Bung Smas. Terima kasih banyak buat Pak Benny Rhamdani yang mau berbagi.

Inilah sosok Bung Smas yang akhirnya saya ketahui setelah hampir tujuh belas tahun saya mengenalnya lewat serial Noni.




Noni, seorang gadis kecil beranjak dewasa. Tokoh yang saya kenal semenjak saya kecil namun sikapnya dan sifatnya telah banyak memberi pengaruh bagi kehidupan saya hingga saat ini. Keceriaan Noni dalam hidupnya yang apa adanya memberikan sebuah pengertian bahwa kenyamanan dan kebahagiaan hidup itu bukan datang dari kehidupan yang serba berkecukupan. Hal-hal seperti persahabatan, kepercayaan, keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang ternyata adalah pembentuk kebahagiaan yang tidak akan pernah habis dan berkurang. Salah satu quote khas Godek yang sangat saya sukai “ Salam Noni”. 

Memetwit? Oh Bukan..ini Mamatwit.

Hemm,,update blog dengan cerita mistis di malam Jumat nggak dosa kali ya? Tadi abis buka TL di twitter jadi ingat  biasanya ramai yangg pada memetwit di malam Jumat. Sempat kebaca beberapa TL orang yang lagi memetwit langsung gw skip. Plis, malem ini biarkan saya yang memetwit. Berhubung ceritanya bukan di TL dan ini adalah tentang mama and her sixth sense, Jadi izinkan gw menjudulinya (Halah..bahasa apa ini?!!) Mamatwit.Mantemans,kemampuan mama gw melihat hal-hal gaib itu kadang bisa sangat nyebelin. Walau kadang juga bisa jadi cerita yang seru  untuk di-share ke teman-teman. Tapi tetap aja kadang-kadang itu sangat nyebelin. Apalagi mama termasuk tipe orang yang spontan..uhuuy. Eh, bukan itu maksudnya. Pokoknya, gini deh. Kapanpun, mama melihat hal-hal yang “aneh“, tanpa peduli tempat, situasi, jam berapa langsung saja saat itu diungkapkan. Bisa saat lagi mati lampu, atau saat lagi berdua aja di rumah, atau saat lagi di jalan tengah malam,atau di waktu-waktu ajaib lainnya.

Bayangin.....(krik..krik..krik)

Em..udah nggak usah lama-lama!Bayangin ya, pernah suatu ketika lagi berdua aja sama mama di rumah,malam hari, mati lampu pula, mama dengan entengnya bilang,
Kak, tadi mama liat pocong deh di paviliun”.
Nah?!!Romantis kan? Bisa dibayangkan perasaan gw saat itu? Happy? Tentu TIDAK. Mama ngomong melihat Mr. P udah kayak ngasih info ketemu tetangga di warung aja. Seolah itu hal yang wesbiasaaa.. Nggak ada empatinya sama perasaan anaknya yg tercabik-cabik ini.

Atau lagi nih saat mama pertama kali datang ke tempat kos gw saat kuliah di Bandung, respon pertama mama saat ngeliat kamar kos gw adalah...
”Kak, tenang aja. Kalau kamar kakak mah aman. Yang ada tuh di seberang kamar kakak. Suka ada perempuan ngintipin terus ke sini dari jendelanya".
 Hahahaha...terus perasaan gw gimana? A. Seneng karena kamar gw aman atau B. Pengen cari kosan baru. Iya sih, di kamar gw aman kata mama, tapi kata-kata mama itu berhasil bikin gw nunduk terus setiap pulang malam dan lewat depan kamar Teh Selly (depan kamar gw). Akh..kebayang kalau tiba-tiba si “perempuan“ itu bosen di kamar Teh Selly dan mau maen-maen ke kamar yg selalu dia pantau setiap hari dari jendela kamarnya. Tidaaaaak..!!!

Nih, contoh lagi nih. Waktu itu siang bolong. Mama tidur di ruang tengah yang kebetulan di kasih kasur untuk nonton tv sambil gogoleran. Sore-sore pas bangun mama ngomong gini..
“Tadi pas mama tidur ada yang ngerabain tangan mama deh. Siapa ya?"
Padahal gw di rumah cuma sama mama. Terus kalian nuduh gw pelakunya?!!!*emosi..Nggak lah karena gw juga sedang bobo manis di kamar. Gara-gara omongan mama itu, gw sempet males begadang. Karena tiada artinya. Begadang boleh saja..a..a.. kalau ada manfaatnya..*nyanyi.

Tapiiii, dari sekian banyak kejadian-kejadian serem yang telah gw dengar dari mama, ada satu cerita yang membekas di otak gw. Boleh gw kasih judul? Nggak usah? Baiklah. Jadi niiih, ini cerita nggak gw alami sendiri, ini dialami mama pas lagi hamil anak pertamanya yaitu gw. Hamil besar. Papa saat itu dinesnya di luar kota jadi nggak tiap hari pulang. Untuk menemani mama yang lagi hamil besar di rumah, nenek gw mengutus om gw yang saat itu masih bujangan. Sebut  saja Om W. 

Malam itu, Om W mengajak salah satu temennya sebut saja Om Y untuk nemenin dia jagain mama di rumah. Saat itu tengah malam. Perumahan gw dulu belum kayak sekarang.Ini settingnya tahun 1986, dimana rumah-rumah masih jarang walau judulnya perumahan. Masih banyak pohon gede dan kebon. Om W dan Om Y seperti layaknya bujangan yang sama aja di setiap zaman, mereka asik main kartu di depan rumah. Mama tidur di kamar. Itu sudah lewat tengah malam. Di kamar mama itu ada jendela, jendelanya menghadap ke jalan. 

Mama sudah tertidur lelap saat itu, ketika tiba-tiba terdengarlah suara yang sangat asing untuk ada di tengah malam jam segitu. Suara apakah itu? Ya itu adalah suara ayam dan anak-anaknya yang riuh di bawah jendela kamar mama. Saat diintip sekilas oleh mama karena merasa terganggu oleh ributnya suara keluarga ayam itu,ternyata dilihat oleh mama bahwa itu adalah sekumpulan ayam putih. Mama langsung berpikir kalau itu pasti bukan ayam biasa. Terlalu antimainstream saat itu di tengah malam ada sekelompok ayam yang riuh di bawah jendela kamar. Ayam putih pula yang keberadaannya pun agak jarang. 

Mama yang lagi hamil besar takut dan langsung berteriak memanggil Om W. Mama menyuruh Om W segera mengusir ayam-ayam tersebut. Om W langsung mengerti maksud mama. Dengan hanya mengenakan sarung dan membawa sebilah golok (or pisau dapur or something like that laaah) Om W segera ke bawah jendela dan mengusir ayam-ayam tersebut. Ayam-ayamnya lari. Om W langsung mengejar ayam-ayam tersebut sampai ke arah kebun di bawah perumahan. 

Dan saat ayam-ayam itu dikejar, sesuatu terjadi. Ayam-ayamnya mendadak hilang dan berganti wujud menjadi sosok perempuan.Berbaju putih panjang, rambutnya panjang, hampir menutupi seluruh punggungnya. Dia juga berlari. Ada suatu momen yang membuat Om W gemetaran dimana momen itu adalah saat sosok itu sempat menengokkan wajahnya ke belakang ke arah Om W yang mengejarnya. Saat itu tampak jelas wajah putih, pucat, menyeringai senang sambil terus tetap berlari dengan sangat cepat hingga tidak bisa terkejar. Masih sambil terus berlari, sosok itu mengeluarkan tawanya yg khas dengan seringainya yang lebar. Setelah tertawa, dia menghilang walau  suara tawanya masih terdengar jelas..sangat jelas seolah dia masih ada di dekat situ. 

Dengan ketakutan Om W segera kembali ke rumah. Malam itu tidak ada yang tidur karena takut kejadian seperti tadi terulang lagi. Mungkin benar kata orang, kalau sedang hamil itu sering sekali diganggu oleh makhluk2 seperti tadi. Entah mitos atau bukan,yang pasti itu benar dialami oleh mama dan Om W. 

Udah ah. Selesai dulu ceritanya. Gw jadi merinding sendiri. Besok-besok aja lanjut lagi. Masih banyak cerita lain, nanti kalau sempat gw update lagi. Tapi nggak akan mau update di tengah malem kayak gini. Hampuuuuun....

Minggu, 16 Juni 2013

Hijrah

 Tiap orang punya cerita sendiri tentang pengalamannya memulai berjilbab and every story is always stunning. Here is mine....
Hijrah

Berjilbab. Kata yang dari dulu sebenarnya sudah mengusik alam bawah sadar saya. Saya sadar betul akan konsep menutup aurat dalam Islam. Menyadari hal tesebut wajib untuk muslimah, mengetahui kebenarannya tapi tidak melakukannya. Itulah saya dulu.
Pertama kali terlintas dalam benak saya untuk mengenakan jilbab adalah saat saya duduk di bangku kuliah di salah satu Universitas Negeri di Bandung. Semester berapa entah saya lupa. Tapi niat itu tidak berjalan lancar. Sepertinya ada yang salah  saat itu dalam pola pikir saya tentang persiapan untuk berjilbab. Alih-alih memperbaiki ibadah dan menyegerakan berjilbab,saya malah sibuk mempersiapkan hal-hal yang sifatnya tampilan luar semata. Saya mulai menghabiskan  waktu untuk belanja baju-baju muslimah, mulai memesan tangan panjang untuk baju-baju kepanitiaan yang saya ikuti,  mulai mengoleksi jaket dan cardigan, dan hal-hal teknis lainnya. Salahkah? Tidak. Tapi nyatanya yang terjadi adalah saya gagal berjilbab saat itu. Penyebabnya sepele saja, ternyata di balik kehebohan segala persiapan untuk berjilbab itu, saya lupa mempersiapkan diri untuk menguatkan tekad. Jadinya, yang muncul kemudian adalah keragu-raguan. Saya mulai ragu untuk berjilbab. Niat yang tadinya menggebu-gebu itu akhirnya teralihkan dengan seabrek kegiatan menyita waktu. Tanggal yang sudah saya tentukan untuk pertama kali berjilbabpun teralihkan dengan“Ntar aja deh masih ada kegiatan ini/itu“ atau “Kayaknya bulan depan aja pas udah beres semua kegiatan“. Sampai akhirnya niat untuk memulai itu hanya jadi tinggal niat saja. Saat itu saya berpikir,mungkin bukan sekarang waktunya.
Selepas dari kuliah, saya mulai berburu pekerjaan. Niat untuk berjilbab masih terpatri rapi, namun gambaran tentang karir impian berupa perempuan sukses lengkap dengan pakaian kerja formal berupa blazer, rok pendek, dan tas keluaran fashion terbaru membuat niat itu bersembunyi di pojokan hati.
Satu bulan setelah wisuda, rezeki Alloh membawa saya ke sebuah perusahaan retail farmasi di Jakarta dengan jabatan Store Manager. Bukan pekerjaan impian saya sebenarnya. Tapi bagi seorang fresh graduate seperti saya, dorongan untuk lepas secara finansial dari orangtua itu lebih besar daripada dorongan mencari pekerjaan impian. Pekerjaan ini, tidak bisa saya lakoni dengan penampilan seperti wanita karier dalam bayangan saya. Di sini lebih santai saja, cukup kemeja rapi dan celana bahan panjang atau rok bahan. Niat untuk berjilbab mulai berani menampakkan dirinya lagi walau malu-malu. Tapi, lagi-lagi saya dibenturkan oleh kenyataan bahwa perusahaan tempat saya bekerja melarang karyawannya yang di divisi operasional untuk berjilbab. Apabila sudah berjilbab, harus mau melepas jilbabnya saat jam kerja. Itu banyak dilakoni oleh rekan kerja saya. Mereka mengenakan jilbab hanya saat datang dan pulang kerja. Ini memang bukan peraturan yang tertulis, tapi ini harus diikuti.
Saya sadar betul ini adalah sebuah pilihan hidup. Saya sudah terlanjur menandatangani kontrak untuk bekerja selama 18 bulan. Artinya apabila saya mengundurkan diri, saya harus membayar pinalti uang yang tidak sedikit. Jadi dipertempuran ini, dunia pemenangnya. Saya meneruskan bekerja di perusahaan itu selama lebih dari dua tahun. Tidak lama selepas saya keluar dari perusahaan itu, akhirnya ada kebijakan baru yang mengizinkan penggunaaan jilbab saat bekerja. Alhamdulillah. Lagi-lagi dalam hati saya berkata, mungkin memang bukan saat itu waktunya.
Dua tahun yang panjang. Saya resmi keluar dari perusahaan itu setelah saya menikah dengan alasan jam kerja shift di perusahaan tersebut akan menjadi masalah dalam kehidupan rumah tangga saya nantinya. Itu saya hindari.  Lalu bagaimana dengan niat saya untuk berjilbab? Sebenarnya setelah menikah niat itu semakin besar, ditambah suami sudah mulai bertanya ‚“Kapan kamu mau mulai berjilbab?“. Pertanyaan itu hanya saya jawab dengan ‚“Soon“.
Dua minggu setelah keluar dari perusahaan retail farmasi tersebut, saya diterima bekerja di sebuah klinik kecantikan ternama di Jakarta sebagai Unit Manager. Namun, lagi-lagi niat saya diuji. Tidak ada peraturan tertulis tentang apakah seorang Unit Manager tidak boleh berjilbab. Tapi itulah yang terjadi. Ini ujian yang cukup berat karena ini bisa dibilang karir impian saya. Gaji yang dua kali lipat dari perusahaan sebelumnya, jam kerja yang cukup bersahabat, fasilitas-fasilitas yang saya dapat, interaksi dengan orang-orang hebat, ilmu-ilmu yang mahal harganya saya peroleh dengan gratis, make-up, fashion, dan hal-hal lain yang wanita suka ada di sini. Intinya,I love this job! Dan dunia menang lagi. Setahun lebih saya bekerja di sana dan menikmati semuanya. Tapi akhirnya saya mundur karena sebuah pilihan.
Pilihan itu hadir dalam wujud seorang bayi di perut saya. Tepat 4 bulan setelah saya bekerja di klinik itu, saya hamil. Sebenarnya tidak ada masalah. Pihak kantor pun menyetujui saya cuti hamil nantinya walau saya belum setahun bekerja. Saya mulai berencana. Nantinya, saat kehamilan memasuki bulan ke 9 saya akan cuti 3 bulan untuk melahirkan di kampung halaman di Bandar Lampung. Kemudian, saya akan mencari pengasuh bayi dan meneruskan bekerja. Perfect plan, sebelum akhirnya suami meminta saya untuk menetap di Bandar Lampung setelah melahirkan. Dia secepatnya akan mengurus kepindahan kerjanya ke ke Bandar Lampung juga. Saya sadar betul kedudukan saya sebagai seorang istri. Suami saya adalah imam. Saya ikuti semua permintaannya yang baik dan tidak dilarang oleh agama. Saya setujui itu. Itu artinya saya akan segera meninggalkan Jakarta. Meninggalkan karir, teman, dan semua kenangan lain tentangnya. Sedikit berat saat itu rasanya, tapi perlahan saya sadari, Jakarta bukan pilihan hidup saya. Bukan juga pilihan suami saya. Saya akan hijrah.
Hijrah. Ya pindah. Bukan seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Saya hijrah kembali. Ke kampung halaman saya Bandar Lampung. Surat cuti ke kantor diganti dengan surat pengunduran diri saya. Sedih. Semua staff berinisiatif memberi kenang-kenangan berupa cincin mas putih yang sampai saat ini selalu saya kenakan.
Sedikit mundur ke belakang, di akhir masa kehamilan dan menjelang kepindahan saya ke Bandar Lampung mungkin adalah saat-saat saya dan suami banyak meminta kepada Alloh SWT. Kami rayu Alloh SWT untuk memudahkan semua masalah kami, kami minta kepada-Nya untuk memudahkan proses kelahiran anak pertama kami, kami minta kepada-Nya agar saya dapat melahirkan secara normal, kami mengiba kepada-Nya agar anak kami lahir sehat tanpa kurang satu apapun. Kami terus berusaha untuk mendekatkan diri kami kepada-Nya.Ibadah yang wajib kami perbaiki, ibadah yang sunnah kami jadikan kebiasaan. Tapi, saat melaksanakan semua itu, muncul terus pertanyaan dalam hati saya.
“Apa ini cukup Ya Alloh untuk Engkau mengabulkan doa kami?”
”Apa ini layak saya pinta sementara satu yang wajib belum saya jalankan?”
Pertanyaan itu terus muncul. Setiap saat. Semakin sering.Membuat saya merasa malu untuk terus meminta. Sampai akhirnya cobaan itu datang.
Cobaan itu datang dalam bentuk yang bisa dibilang hampir semua doa saya tidak terkabulkan malah ditambah ujian bertubi-tubi dari Alloh SWT. Saat itu saya merasa ini tidak adil. Saya merasa sudah beribadah dan berusaha dengan maksimal tapi kenapa malah cobaan itu datang untuk saya dan keluarga? Itu kesombongan saya.
Ujian  pertama berupa jatuh sakitnya saya,justru di saat kehamilan saya memasuki bulan kesembilan. Sakit tifus mengakibatkan kontraksi datang lebih cepat dari tanggal perkiraan kelahiran sehingga saya harus segera menjalani operasi Caesar dalam kondisi yang masih sangat lemah dan demam tinggi. Kemudian, bayi saya yang baru saja lahir mengalami kuning karena bilirubinnya tinggi dan harus dirawat intensif di ruangan terpisah sehingga belum dapat saya temui sampai beberapa hari ke depan.
Ujian belum selesai.Sekeluarnya saya dan bayi saya dari rumah sakit, giliran adik kandung saya yang masuk rumah sakit karena tifus juga demam berdarah dan harus dirawat inap. Satu hari kemudian setelah adik saya masuk rumah sakit, bayi saya kembali masuk rumah sakit karena demam tinggi dan harus dirawat lagi selama satu minggu. Saya hanya boleh menjenguk pukul  11 siang dan pukul 5 sore. Dalam kondisi penyembuhan pasca operasi, saya harus bolak-balik ke rumah sakit hingga akhirnya luka operasi saya mengalami infeksi. Selain itu, stress dan kesedihan yang datang bertubi-tubi mengakibatkan produksi ASI saya tidak lancar. Bayi saya yang masih dalam masa perawatan terpaksa diberi susu formula karena saya tidak bisa menstok ASI untuknya.Gagal harapan saya untuk memberi ASI eksklusif tanpa tersentuh susu formula.
Ujian yang bertubi-tubi datangnya ini membuat saya mempertanyakan keadilan kepada Alloh SWT. Saya benar-benar merasa letih. Bahkan saya mulai malas untuk meminta. Sampai suatu ketika saya ditegur oleh Ayah saya. Kata beliau,”Bersabarlah, berbaiksangkalah  kepada Alloh SWT. Jangan anggap ini hukuman. Anggap ini ujian. Alloh SWT uji meraka yang Dia sukai. Untuk apa?Untuk naik kelas. Sakit itu peluruh dosa. Sakit itu pembersih harta. Asal sabar, asal tawakal”.
Saat itu saya diam.  Entah kenapa yang terlintas dalam benak saya saat itu cuma satu kata yaitu berjilbab. Saya sangat yakin berjilbab adalah naik kelasnya saya. Itu pikiran  saya dalam hati. Tidak boleh saya tunda-tunda lagi. Saat itu, tepat tanggal 10 November 2012 yang banyak orang sebut sebagai tanggal cantik, saya tunaikan kewajiban saya sebagai seorang muslimah. Saya hijrah. Inilah hijrah yang sebenarnya.
Berjilbab.Seharusnya dari dulu ini saya lakukan. Terlalu lama saya tunda dengan banyak pembenaran. Saat pertama kali saya berjilbab, tidak ada yang saya persiapkan. Memang seharusnya begitu. Menurut saya satu-satunya yang harus kita persiapkan saat akan berjilbab adalah LAKUKAN SAAT ITU JUGA. Saat saya memutuskan berjilbab, saat itu jugalah segera saya tutup aurat saya. Semua dengan barang pinjaman dari mama. Selanjutnya adalah terus memperbaiki diri dan belajar memantaskan diri untuk saatnya nanti kita kembali.
Untuk para muslimah yang sudah pernah terlintas di benaknya untuk berjilbab. Lakukan sekarang, jangan tunda sedikitpun. Semakin ditepis niatan itu, maka semakin jauh niat itu bersembunyi di hatimu. Lihatlah, berapa lama dunia membawa saya dari kewajiban yang seharusnya sudah saya tunaikan sejak dahulu. Hampir belasan tahun lamanya sampai niat saya bisa terlaksana. Padahal hampir setiap waktu Alloh SWT ketuk hati saya agar segera menunaikannya.  Segerakanlah karena siapa yang bisa menjamin masih ada waktu untuk memeperbaiki diri kalau tidak saat ini juga? Percayalah, Alloh SWT akan mudahkan semuanya karena Dia menyukainya.Mengutip sebuah hadis,
 “ Siapa mendekat kepada KU (Allah) sejengkal, maka aku akan mendekatinya satu hasta, Siapa yang mendekat kepada KU (Allah) satu hasta, maka aku akan mendekat kepadanya satu depa. Dan siapa yang mendekat kepada KU (Allah) dengan berjalan kaki, maka aku akan mendekatinya dengan berlari-lari kecil” ) (HR. Bukhari Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Nisai dan Ibnu Majah). Alloh SWT akan sangat senang apabila ada umatnya yang kembali mendekatkan diri kepada-Nya.
                Ya Alloh SWT, panggillah kami dalam keadaan yang baik. Dalam keadaan menutup aurat. Dengan bekal yang cukup untuk mendapat Ridho-Mu menjadi penghuni Surga-Mu. Amin Ya Rabbal Alamin.

Dunia punya caranya untuk terus terlihat memikat
Ia akan terus percantik diri untuk membuat kita jatuh hati
Riuhnya menutup telinga kita akan peringatan tentang mati
Gemerlapnya membuat kita yakin akan hidup abadi
Dunialah sang ahli doktrin
Dia bikin kita yakin kalau masih ada nanti dan nanti untuk memperbaiki diri
Dia bikin kita lupa kalau kita ada janji pertemuan dengan Sang Pencipta