Tiap orang punya cerita sendiri tentang pengalamannya memulai berjilbab and every story is always stunning. Here is mine....
Hijrah
Berjilbab. Kata yang dari dulu sebenarnya sudah
mengusik alam bawah sadar saya. Saya sadar betul akan konsep menutup aurat
dalam Islam. Menyadari hal tesebut wajib untuk muslimah, mengetahui
kebenarannya tapi tidak melakukannya. Itulah saya dulu.
Pertama kali terlintas dalam benak saya untuk
mengenakan jilbab adalah saat saya duduk di bangku kuliah di salah satu
Universitas Negeri di Bandung. Semester berapa entah saya lupa. Tapi niat itu tidak berjalan lancar. Sepertinya ada yang salah saat
itu dalam pola pikir saya tentang persiapan untuk berjilbab. Alih-alih
memperbaiki ibadah dan menyegerakan berjilbab,saya malah sibuk
mempersiapkan hal-hal yang sifatnya tampilan luar semata. Saya mulai
menghabiskan waktu untuk belanja
baju-baju muslimah, mulai memesan tangan panjang untuk baju-baju
kepanitiaan yang saya ikuti, mulai mengoleksi jaket dan cardigan, dan
hal-hal teknis lainnya. Salahkah? Tidak. Tapi nyatanya yang terjadi adalah saya gagal berjilbab saat itu. Penyebabnya
sepele saja, ternyata di balik kehebohan segala persiapan untuk berjilbab itu,
saya lupa mempersiapkan diri untuk menguatkan tekad. Jadinya,
yang muncul kemudian adalah keragu-raguan. Saya mulai ragu untuk berjilbab.
Niat yang tadinya menggebu-gebu itu akhirnya teralihkan dengan seabrek kegiatan
menyita waktu. Tanggal yang sudah saya tentukan untuk pertama kali berjilbabpun
teralihkan dengan“Ntar aja deh masih ada
kegiatan ini/itu“ atau “Kayaknya
bulan depan aja pas udah beres semua kegiatan“. Sampai akhirnya niat
untuk memulai itu hanya jadi tinggal niat saja. Saat itu saya berpikir,mungkin bukan sekarang waktunya.
Selepas dari kuliah, saya mulai berburu
pekerjaan. Niat untuk berjilbab masih terpatri rapi, namun gambaran tentang
karir impian berupa perempuan sukses lengkap dengan pakaian kerja formal berupa
blazer, rok pendek, dan tas keluaran fashion terbaru membuat niat itu
bersembunyi di pojokan hati.
Satu bulan setelah wisuda, rezeki Alloh membawa
saya ke sebuah perusahaan retail farmasi di Jakarta dengan jabatan Store
Manager. Bukan pekerjaan impian
saya sebenarnya. Tapi bagi seorang fresh
graduate seperti saya, dorongan untuk lepas secara finansial dari orangtua
itu lebih besar daripada dorongan mencari pekerjaan impian. Pekerjaan ini,
tidak bisa saya lakoni dengan penampilan seperti wanita karier dalam bayangan
saya. Di sini lebih santai saja, cukup kemeja rapi dan celana bahan panjang
atau rok bahan. Niat untuk berjilbab mulai berani
menampakkan dirinya lagi walau malu-malu. Tapi, lagi-lagi saya dibenturkan oleh
kenyataan bahwa perusahaan tempat saya bekerja melarang karyawannya yang di
divisi operasional untuk berjilbab. Apabila sudah berjilbab, harus mau melepas
jilbabnya saat jam kerja. Itu banyak dilakoni oleh rekan kerja saya. Mereka mengenakan
jilbab hanya saat datang dan pulang kerja. Ini memang bukan peraturan yang tertulis, tapi ini harus diikuti.
Saya sadar betul ini
adalah sebuah pilihan hidup. Saya sudah terlanjur
menandatangani kontrak untuk bekerja selama 18 bulan. Artinya apabila saya mengundurkan diri, saya harus
membayar pinalti uang yang tidak sedikit. Jadi dipertempuran ini, dunia
pemenangnya. Saya meneruskan bekerja di perusahaan itu selama lebih dari dua
tahun. Tidak lama selepas saya keluar dari perusahaan itu, akhirnya ada
kebijakan baru yang mengizinkan penggunaaan jilbab saat bekerja. Alhamdulillah.
Lagi-lagi dalam hati saya berkata, mungkin memang bukan saat itu waktunya.
Dua tahun yang panjang. Saya resmi keluar dari
perusahaan itu setelah saya menikah dengan alasan jam kerja shift di perusahaan
tersebut akan menjadi masalah dalam kehidupan rumah tangga saya nantinya. Itu
saya hindari. Lalu bagaimana dengan niat
saya untuk berjilbab? Sebenarnya setelah menikah niat itu semakin besar,
ditambah suami sudah mulai bertanya ‚“Kapan kamu mau mulai berjilbab?“.
Pertanyaan itu hanya saya jawab dengan ‚“Soon“.
Dua minggu setelah keluar dari perusahaan
retail farmasi tersebut, saya diterima bekerja di sebuah klinik kecantikan ternama
di Jakarta sebagai Unit Manager. Namun, lagi-lagi niat saya diuji. Tidak ada
peraturan tertulis tentang apakah seorang Unit Manager tidak boleh berjilbab. Tapi itulah yang terjadi. Ini
ujian yang cukup berat karena ini bisa dibilang karir impian saya. Gaji yang
dua kali lipat dari perusahaan sebelumnya, jam kerja yang cukup bersahabat,
fasilitas-fasilitas yang saya dapat, interaksi dengan orang-orang hebat,
ilmu-ilmu yang mahal harganya saya peroleh dengan gratis, make-up, fashion, dan
hal-hal lain yang wanita suka ada di sini. Intinya,I love this job! Dan dunia menang lagi. Setahun lebih saya bekerja
di sana dan menikmati semuanya. Tapi akhirnya saya mundur karena sebuah
pilihan.
Pilihan itu hadir dalam
wujud seorang bayi di perut saya. Tepat 4 bulan setelah saya bekerja di klinik
itu, saya hamil. Sebenarnya tidak ada masalah. Pihak kantor pun menyetujui saya
cuti hamil nantinya walau saya belum setahun bekerja. Saya mulai berencana.
Nantinya, saat kehamilan memasuki bulan ke 9 saya akan cuti 3 bulan untuk
melahirkan di kampung halaman di Bandar Lampung. Kemudian, saya akan mencari
pengasuh bayi dan meneruskan bekerja. Perfect
plan, sebelum akhirnya suami meminta saya untuk menetap di Bandar Lampung
setelah melahirkan. Dia secepatnya akan mengurus kepindahan kerjanya ke ke Bandar
Lampung juga. Saya sadar betul kedudukan saya sebagai seorang istri. Suami saya
adalah imam. Saya ikuti semua permintaannya yang baik dan tidak dilarang oleh
agama. Saya setujui itu. Itu artinya saya akan segera meninggalkan Jakarta.
Meninggalkan karir, teman, dan semua kenangan lain tentangnya. Sedikit berat
saat itu rasanya, tapi perlahan saya sadari, Jakarta bukan pilihan hidup saya.
Bukan juga pilihan suami saya. Saya akan hijrah.
Hijrah. Ya pindah.
Bukan seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Saya
hijrah kembali. Ke kampung halaman saya Bandar Lampung. Surat cuti ke kantor diganti
dengan surat pengunduran diri saya. Sedih. Semua staff berinisiatif memberi
kenang-kenangan berupa cincin mas putih yang sampai saat ini selalu saya
kenakan.
Sedikit mundur ke
belakang, di akhir masa kehamilan dan menjelang kepindahan saya ke Bandar
Lampung mungkin adalah saat-saat saya dan suami banyak meminta kepada Alloh
SWT. Kami rayu Alloh SWT untuk memudahkan semua masalah kami, kami minta
kepada-Nya untuk memudahkan proses kelahiran anak pertama kami, kami minta
kepada-Nya agar saya dapat melahirkan secara normal, kami mengiba kepada-Nya
agar anak kami lahir sehat tanpa kurang satu apapun. Kami terus berusaha untuk
mendekatkan diri kami kepada-Nya.Ibadah yang wajib kami perbaiki, ibadah yang
sunnah kami jadikan kebiasaan. Tapi, saat melaksanakan semua itu, muncul terus
pertanyaan dalam hati saya.
“Apa ini cukup Ya Alloh
untuk Engkau mengabulkan doa kami?”
”Apa ini layak saya
pinta sementara satu yang wajib belum saya jalankan?”
Pertanyaan itu terus
muncul. Setiap saat. Semakin sering.Membuat saya merasa malu untuk terus
meminta. Sampai akhirnya cobaan itu datang.
Cobaan itu datang dalam
bentuk yang bisa dibilang hampir semua doa saya tidak terkabulkan malah
ditambah ujian bertubi-tubi dari Alloh SWT. Saat itu saya merasa ini tidak
adil. Saya merasa sudah beribadah dan berusaha dengan maksimal tapi kenapa
malah cobaan itu datang untuk saya dan keluarga? Itu kesombongan saya.
Ujian pertama berupa jatuh sakitnya saya,justru di saat
kehamilan saya memasuki bulan kesembilan. Sakit tifus mengakibatkan kontraksi datang
lebih cepat dari tanggal perkiraan kelahiran sehingga saya harus segera
menjalani operasi Caesar dalam kondisi yang masih sangat lemah dan demam
tinggi. Kemudian, bayi saya yang baru saja lahir mengalami kuning karena
bilirubinnya tinggi dan harus dirawat intensif di ruangan terpisah sehingga
belum dapat saya temui sampai beberapa hari ke depan.
Ujian belum selesai.Sekeluarnya
saya dan bayi saya dari rumah sakit, giliran adik kandung saya yang masuk rumah
sakit karena tifus juga demam berdarah dan harus dirawat inap. Satu hari
kemudian setelah adik saya masuk rumah sakit, bayi saya kembali masuk rumah
sakit karena demam tinggi dan harus dirawat lagi selama satu minggu. Saya hanya
boleh menjenguk pukul 11 siang dan pukul
5 sore. Dalam kondisi penyembuhan pasca operasi, saya harus bolak-balik ke rumah
sakit hingga akhirnya luka operasi saya mengalami infeksi. Selain itu, stress
dan kesedihan yang datang bertubi-tubi mengakibatkan produksi ASI saya tidak
lancar. Bayi saya yang masih dalam masa perawatan terpaksa diberi susu formula karena
saya tidak bisa menstok ASI untuknya.Gagal harapan saya untuk memberi ASI
eksklusif tanpa tersentuh susu formula.
Ujian yang bertubi-tubi
datangnya ini membuat saya mempertanyakan keadilan kepada Alloh SWT. Saya
benar-benar merasa letih. Bahkan saya mulai malas untuk meminta. Sampai suatu
ketika saya ditegur oleh Ayah saya. Kata beliau,”Bersabarlah, berbaiksangkalah kepada Alloh SWT. Jangan anggap ini hukuman.
Anggap ini ujian. Alloh SWT uji meraka yang Dia sukai. Untuk apa?Untuk naik
kelas. Sakit itu peluruh dosa. Sakit itu pembersih harta. Asal sabar, asal
tawakal”.
Saat itu saya
diam. Entah kenapa yang terlintas dalam
benak saya saat itu cuma satu kata yaitu berjilbab. Saya sangat yakin berjilbab
adalah naik kelasnya saya. Itu pikiran saya dalam hati. Tidak boleh saya tunda-tunda
lagi. Saat itu, tepat tanggal 10 November 2012 yang banyak orang sebut sebagai tanggal
cantik, saya tunaikan kewajiban saya sebagai seorang muslimah. Saya hijrah.
Inilah hijrah yang sebenarnya.
Berjilbab.Seharusnya
dari dulu ini saya lakukan. Terlalu lama saya tunda dengan
banyak pembenaran. Saat pertama kali saya berjilbab, tidak ada yang saya
persiapkan. Memang seharusnya begitu. Menurut
saya satu-satunya yang harus kita persiapkan saat akan berjilbab adalah LAKUKAN
SAAT ITU JUGA. Saat saya memutuskan berjilbab, saat itu jugalah segera saya
tutup aurat saya. Semua dengan barang pinjaman dari mama. Selanjutnya adalah
terus memperbaiki diri dan belajar memantaskan diri untuk saatnya nanti kita
kembali.
Untuk para muslimah yang sudah pernah terlintas
di benaknya untuk berjilbab. Lakukan
sekarang, jangan tunda sedikitpun. Semakin ditepis niatan itu, maka semakin
jauh niat itu bersembunyi di hatimu. Lihatlah, berapa lama dunia membawa saya
dari kewajiban yang seharusnya sudah saya tunaikan sejak dahulu. Hampir belasan
tahun lamanya sampai niat saya bisa terlaksana. Padahal hampir setiap waktu Alloh
SWT ketuk hati saya agar segera menunaikannya.
Segerakanlah karena siapa yang bisa menjamin masih ada waktu untuk
memeperbaiki diri kalau tidak saat ini juga? Percayalah, Alloh SWT akan
mudahkan semuanya karena Dia menyukainya.Mengutip sebuah hadis,
“ Siapa
mendekat kepada KU (Allah) sejengkal, maka aku akan mendekatinya satu hasta,
Siapa yang mendekat kepada KU (Allah) satu hasta, maka aku akan mendekat
kepadanya satu depa. Dan siapa yang mendekat kepada KU (Allah) dengan berjalan
kaki, maka aku akan mendekatinya dengan berlari-lari kecil” ) (HR. Bukhari Muslim, Ahmad, Tirmidzi,
Nisai dan Ibnu Majah). Alloh
SWT akan sangat senang apabila ada umatnya yang kembali mendekatkan diri
kepada-Nya.
Ya Alloh SWT, panggillah kami dalam keadaan
yang baik. Dalam keadaan menutup aurat. Dengan bekal yang cukup untuk mendapat
Ridho-Mu menjadi penghuni Surga-Mu. Amin Ya Rabbal Alamin.
Dunia punya caranya untuk terus
terlihat memikat
Ia akan terus percantik diri
untuk membuat kita jatuh hati
Riuhnya menutup telinga kita akan
peringatan tentang mati
Gemerlapnya membuat kita yakin
akan hidup abadi
Dunialah sang ahli doktrin
Dia bikin kita yakin kalau masih
ada nanti dan nanti untuk memperbaiki diri
Dia bikin kita lupa kalau kita
ada janji pertemuan dengan Sang Pencipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar