Senin, 27 Januari 2014

Pernah Kerja di Retail? Bersyukurlah...

"I think everybody should have a retail job at some point at their life as it teaches you an ability that many people lack. That is the ability to act like a polite and well-mannered human being no matter how much shit other people give you"


Kemarin saya membaca kalimat tersebut di postingan akun @bestproadvice di twitter. Membaca kalimat tersebut tanpa disadari saya langsung mengangguk-anggukan kepala tanda setuju. Lalu saya terpikirkan untuk menuliskan ini. Menuliskan tentang pressure yang dihadapi oleh para pekerja retail.


Saya pernah bekerja di retail farmasi modern di awal-awal masa fresh graduate. Cukup lama, hampir dua tahun. Waktu dua tahun tersebut membuat saya cukup mengenal betul pressure yang akan didapatkan seorang pekerja retail. Mulai dari target, jam kerja yang luar biasa tidak bersahabat, libur di saat  kebanyakan orang (pekerja kantoran) masuk dan masuk di saat orang libur, lembur yang kadang mendadak dengan kompensasi yang kecil, bekerja dengan sistem shift yang cukup mengacaukan jam tidur, resiko kehilangan barang yang dijual atau bahkan uang, perusahaan yang terus-menerus menaikkan target, belum lagi gaji yang tidak sesuai dengan segala tekanan yang didapat dan the most important thing is customer behavior.

Pekerja retail adalah manusia biasa, tapi dididik untuk bersikap luar biasa terhadap customer. Proses mendidik itu terkadang berhasil dengan baik, tapi kebanyakan gagal di lapangan. Apalagi, proses mendidik berupa training-training yang diberikan oleh perusahaan terhadap pekerja operasional yang notabene adalah ujung tombak perusahaan bukan training yang panjang waktunya. Singkat saja, hanya beberapa jam di tiap kali pertemuan. Selebihnya, perusahaan lebih membutuhkan para pekerja retail ini untuk standby di lapangan, berhadapan dengan customer, dan jualan. Sehingga banyak munculah komplain dari masyarakat tentang perilaku pramuniaga supermarket X nyebelin, jutek atau si mbak di al**mart/ indo**rt/gi**t nggak ramah sama customer atau SPG di apotek cen***y/ guar**an bete kalau kita cuma nanya-nanya aja. Tidak semuanya begitu, banyak juga saya temui mereka yang memperlakukan customer dengan sangat baik.

Secara teori, customer memang adalah raja, yang harus dilayani sebaik-baiknya. Tapi secara praktek, pekerja retail adalah manusia biasa yang dikejar-kejar oleh target, diberi teori singkat tentang customer service, lalu diminta jualan sebanyak-banyaknya, sementara jam kerja sangat panjang, mereka harus berdiri berjam-jam, menghadapi atasan yang tidak pengertian, dan salary yang jauh dari harapan. Can you put yourself on their shoes? Dalam situasi seperti itu, lalu datanglah anda, customer yang menuntut dilayani sebaik-baiknya tapi perilaku anda tidak sopan, kalimat-kalimat yang keluar bukannya permintaan tolong untuk bantuan tapi lebih kepada perintah seperti anda memerintah pembantu atau supir anda di rumah yang dibayar rutin setiap bulan. Atau di kasus lain customer datang tanya ini itu, minta penjelasan ini itu, tapi tidak jadi membeli. Tidak salah memang, tapi bisa dibayangkan perasaan si pekerja karena anda telah menyita banyak waktnya yang seharusnya bisa dia gunakan untuk membantu customer lain yang mungkin malah jadi membeli produknya. Jangan bicara soal benar salah di sini, karena customer selalu benar. Tapi bicaralah soal empathy. Mencoba merasakan apa yang orang lain rasakan.

Saya dulu adalah seorang store manager, pekerja retail juga, berhubungan dengan customer juga tapi dalam frekuensi yang lebih kecil dibanding kasir dan SPG yang ada di toko saya saat itu. Walaupun, pressure yang saya dapat lebih ke target yang terus-menerus dinaikkan oleh perusahaan, tapi customer behavior di Indonesia ini memang benar-benar keterlaluan. Banyak contoh kasus yang saya dapat di lapangan tentang itu, contoh kasus di atas hanya sebagian kecilnya saja. Mungkin di postingan berikutnya akan saya jelaskan karena terlalu panjang kalau dijabarkan di sini.

Menjadi mantan pekerja retail memberikan pelajaran yang begitu besar, bukan hanya soal pelayanan terhadap customer, tapi juga penghargaan terhadap retail worker. Jadi tepat sekali saya mengutip postingan di twitter tersebut, memang sudah selayaknya setiap orang mengalami menjadi seorang pekerja retail paling tidak sekali dalam seumur hidupnya, untuk tahu caranya bersikap baik, bersikap sopan, dan menahan diri dari kemarahan. Bukan hanya kepada pekerja retail, tapi juga kepada semua orang.

Selasa, 21 Januari 2014

Tahun Baru Yang Tidak Baru Lagi...

Well..Happy Nu Year..
Telat 21 hari. Tapi saya bukan orang yang terbiasa untuk mengucapkan tahun baru so ucapan di atas bisa dibilang hanya basa basi saja. Sounds cliche, tapi buat saya semua tahun sama saja. Bahkan saya sering lupa tahun berapa peristiwa penting di hidup saya terjadi, kecuali ulang tahun. Saya sering lupa tahun berapa saya dilamar, nikah, kelahiran anak pertama, tahun orangtua saya lahir, tahun pertama saya berjilbab de el el. Padahal itu hal yang umumnya diingat orang.

Walaupun saya selalu merasa setiap tahun itu sama saja, dulu saya selalu membuat resolusi di awal tahun. Padahal saya tahu, resolusi itu selalu saya lupakan. Sama halnya dengan resolusi untuk lebih rajin mengupdate blog, atau resolusi diet, atau resolusi lebih rutin olahraga, atau resolusi makan-makanan yang lebih sehat. Untungnya beberapa tahun belakangan ini saya insaf, saya berhenti menyambut tahun baru dengan resolusi, i realize that i'm not "that" kind of person. Orang yang selalu sukses dengan resolusinya, orang yang selalu teratur dengan hidupnya, atau orang yang memiliki pencapaian sesuai dengan target-target hidupnya, ah...itu bukan saya.

Oh iya, walaupun setiap tahun itu sama saja, tapi tentu di setiap tahun ada kejutannya, ada peristiwa penting yang terjadi. Tahun ini, dimulai dengan terpilihnya tulisan saya menjadi salah satu kontributor di 2 buku yang akan diterbitkan oleh Diva Press. Yang pertama sebenarnya di akhir Desember tahun lalu yaitu Pejuang LDR dan yang kedua di tanggal 13 Januari bertepatan dengan ulang tahun saya adalah Namaku Kiran, Singel Titik. Setelah vakum dari mengirimkan tulisan selama beberapa tahun yang sibuk menjadi pekerja, kedua tulisan itu memacu semangat saya lagi untuk benar-benar kembali ke passion saya.

Selain tentang hal di atas, hari-hari yang lain masih seperti biasa. Musim hujan, Jakarta banjir, Tahun Politik.

Jadi, ucapan tahun baru di atas benar-benar sekedar basa-basi.