Selasa, 16 Juni 2015

Runtuhnya Benteng Tsunami

Dimuat di harian Lampung Post tanggal 14 Juni 2015

Pulau Sebuku dikata orang
Ada seribu lebih dan kurang
Orangnya habis nyatalah terang
Tiada hidup barang seorang

Rupanya mayat tidak dikatakan
Hamba melihat rasanya pingsan
Apalah lagi yang punya badan
Harapkan rahmat Allah balaskan[1]

Pria tua itu setiap hari duduk di jalan berpasir yang menuju lokasi penambangan batu dan sabes[2]. Tidak henti-henti mulut tuanya berbicara kepada setiap penambang yang lewat. Beberapa penambang menegurnya ramah, sebagian mengacuhkan, sebagian lagi hanya tersenyum sejenak, lalu mata mereka kembali lurus ke depan. Para penambang tidak mau membuang energi untuk bercakap-cakap. Mungkin mereka bosan karena setiap hari tentu bertemu, setiap hari tentu akan mendengar kalimat yang sama dari pria tua itu. Keramahan berupa senyuman hanya basa basi saja, hanya bentuk rasa kasihan.
Angin pantai kadang sepoi kadang landai di pagi yang sedikit masih berkabut itu. Energi hasil pembakaran sarapan berupa pisang rebusyang biasa istri-istri mereka siapkan, kopi, dan sebatang rokok itulah yang akan menjadi tenaga mereka untuk bekerja keras pagi ini hingga menjelang siang.
Satu persatu para penambang menapak lincah bebatuan hingga nyaris sampai di puncak bukit. Hidup mereka pasrahkan kepada sebilah tambang yang melingkar di badan. Tambang itu yang menopang tubuh mereka berayun-ayun sembari mencukil bebatuan dengan linggis. Suara gelegar bebatuan yang jatuh mulai sering terdengar seiiring semakin banyak para pekerja yang bergelantungan. Kadang bunyi-bunyi itu akan mengagetkan mereka yang tidak biasa berada di sana, maklum terkadang batu yang jatuh bisa seukuran meja besarnya. Suara gemuruh ban truk-truk pengangkut yang beradu dengan remahan batu, membuat pagi itu semakin ramai.
Pria tua itu masih duduk terdiam. Sesekali mulut tuanya berucap lirih kalimat yang sudah bertahun-tahun ini ia ucapkan setiap pagi. Terkadang kalimat itu meluncur keluar begitu saja tanpa peduli ada yang mendengar atau tidak.
“Jangan bunuh diri massal.”
***
            Amran masih ingat, sejak dulu, ayahnya selalu bercerita tentang kegagahan gunung di seberang kampungnya, yaitu kampung Kunyit Laut. Sejak ia kecil, kekaguman akan Gunung Kunyit telah melekat di hati Amran. Jika tidak ada Gunung Kunyit, mungkin dirinya tidak ada. Sebab menurut cerita ayahnya, Gunung Kunyit-lah yang menjadi benteng alam saat tsunami akibat letusan Gunung Krakatau tahun 1883 datang menerjang kawasan Kunyit Laut dan Kunyit Seberang. Bagi Amran, gugusan gunung yang saat ia kecil luasnya hingga di tepi pantai itu, bukanlah sekedar bentang alam biasa. Dengan ketinggiannya yang mencapai 7000 kaki dengan tumbuhan hijau yang membungkus tubuhnya, Gunung Kunyit adalah sebuah saksi mata sejarah.
            “Jangan sampai dia rata dengan tanah,” ujar ayahnya sambil menunjuk Gunung Kunyit di kejauhan. Setiap sore, Amran dan ayahnya selalu menunggu senja di pantai yang langsung berbatasan dengan Teluk Lampung itu.
            “Kalau dia rata dengan tanah, habislah kita semua. Jangankan tsunami, gelombang pasang besar sedikit saja, maka tenggelam kita semua,” lanjut ayahnya lagi.
            Amran kecil hanya mengangguk. Hanya sedikit sekali kata-kata dari untaian kalimat yang disampaikan ayah, yang mampu dicerna oleh alam pikirnya. Tapi ia merasa bahwa gunung itulah sumber segala pembicaraan mereka di sore-sore menanti senja. Selalu tentang gunung itu.
***
Saya mau makan apa, Pak, kalau tidak kerja begini?
Tapi...
Tapi apa? Bapak mau mengulang cerita yang sejak kecil sudah aku dengar? Bapak mau bilang kalau kita akan hancur kalau terus membiarkan gunung itu rata dengan tanah? Bapak malu kepada orang-orang karena Bapaklah yang selalu paling ngotot mendukung pemerintah untuk menertibkan penambangan?”
Mulut tua itu hanya terdiam. Dalam hatinya ia membenarkan ucapan lelaki keras kepala yang sangat mirip dengannya itu.
Bapak bisa kasih saya dan istri saya makan kalau saya nggak kerja? Mana mungkin! Ibu saja hampir tiap hari menangis karena sering tidak ada beras di rumah ini.
***
 “Sehari bisa dapat hampir dua ratus rebu, Lin. Asal kuat saja kerja seharian. Semakin banyak truk yang terisi batu, semakin banyak hasil yang bisa aku bawa pulang,”
“Itu uang segitu bersih, Bang?”
“Bersih, Lin, setelah dibagi dengan Pak Santoso dan pemecah batu.”
“Banyak juga, Bang.”
“Makanya doakan aku kerjanya selamat. Jangan kayak bapak yang hanya bisa ngelarang-larang.”
Tubuh tua yang mulai bungkuk itu menghempaskan dirinya ke atas kursi lapuk berbau apek. Percakapan antara anak dan mantunya itu terdengar jelas di rumah petak mereka. Ia tahu, kalau akan tiba waktu anak lelaki satu-satunya mulai tertarik untuk bekerja menjadi penambang. Rumah mereka yang sangat dekat dengan lokasi penambangan, merupakan faktor utamanya. Ajakan untuk bekerja di sana hampir setiap hari diterima oleh anaknya. Dulu kecintaan Amran kepada gunung itu mungkin masih besar hingga bisa ditolaknya ajakan dari para tetangga untuk menambang. Tapi kini, saat ia telah menikah, saat ekonomi keluarga semakin terpuruk, saat tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan oleh laki-laki tanpa ijazah, pilihan menjadi penambang menjadi hal yang paling mungkin ia lakukan. Cinta itupun pudar saat cinta tidak bisa lagi mengisi perut yang masih meronta kelaparan.
***
Sudah sebulan ini, Amran bekerja menjadi penambang. Setiap pagi, ia keluar rumah dan baru kembali sore hari. Seperti janjinya kepada istrinya, Amran selalu pulang membawa banyak uang. Perekonomian keluarga mulai membaik. Beras sekarang selalu ada di rumah itu.
Adzan maghrib berkumandang di luar saat keluarga itu tengah berkumpul di satu-satunya ruangan agak luas di rumah itu. 
Bruk,” bunyi benda besar yang jatuh sangat dekat.
Disusul bunyi gemuruh lebih ramai lagi. Suasana mendadak mencekam. Mereka semua sesaat terdiam. Terdengar suara jeritan perempuan sangat keras dari luar rumah. Belum sempat diketahui asal suara, dengan sangat cepat atap rumah mereka telah rubuh diterjang bebatuan kapur yang besar-besar bersamaan dengan suara jerit ketakutan -atau kesakitan salah satu anggota keluarga. Lalu semua gelap.
***
Hal pertama yang Amran lihat saat membuka mata adalah istrinya dengan kepala yang terbebat kain kassa. Lalu kesadaran  membawanya kembali ke maghrib itu.
Ayah dan Ibu mana?itu kata-kata yang berhasil keluar dari mulutnya yang terasa sangat perih. 
“Mereka ada. Sedang beristirahat di ruang yang lain,jawaban pelan itu keluar dari mulut perempuan yang telah dinikahinya selama dua tahun ini.
Perasaan lega mulai menyelimuti hatinya. Keluarganya selamat. Itu yang penting. Rumah bisa dibangun lagi, uang bisa dicari. Mulai besok ia akan bekerja lebih keras lagi menambang batu.   
Kelegaan itu pecah oleh isak tangis isterinya yang ternyata ditahannya sedari tadi sembari tangannya menunjuk-nunjuk kedua kaki Amran. Kaki yang baru Amran sadari kalau tidak ada lagi. Hanya menyisakan dua gumpal daging di atas lutut. Saat itu, dunianya hancur lebur.
***
Pria tua itu masih duduk terdiam. Sesekali mulut tuanya berucap lirih kalimat yang sudah bertahun-tahun ini ia ucapkan setiap pagi. Terkadang kalimat itu meluncur keluar begitu saja tanpa peduli ada yang mendengar atau tidak.
“Jangan bunuh diri massal.”
Kedua kakinya yang hanya sampai lutut membatasi geraknya. Ditambah pasir hasil remah penambangan sangat tajam dan keras. Sulit baginya untuk mencapai tempat yang lain tanpa bantuan tongkat yang kini bersandar di sebelahnya.
Besok pagi, ia akan ke sini lagi. Sampai ada yang mendengarnya, dan mengikuti perkataannya.

Epilog
Goenoeng Koenjit begitu orang Belanda menyebutnya. Luasnya terbentang hingga ke ujung laut yang berbatasan dengan Teluk Lampung. Ia pernah membentang gagah menghadapi tsunami akibat letusan Krakatau tahun 1883 dan menjadi benteng perlindungan bagi masyarakat sekitar atas maut yang sempat mengintai. Tapi itu dulu, sebelum batu-batunya berjatuhan menghempas bumi, mengisi perut-perut lapar para penambang.
Kini, tidak pantas lagi rasanya dia disebut gunung. Tidak tampak lagi keperkasaannya. Tubuhnya koyak disana sini akibat tebasan linggis dan martil. Hampir 80% dari luasnya dahulu kini telah menjadi tanah rata dan pemukiman para penambang. Kelak, jika suatu hari anda ke Bandar Lampung, mungkin tidak pernah akan lagi melihatnya karena benteng tsunami itu telah berpeluk mesra dengan bumi.




[1]Kutipan dari “Syair Lampung Karam”, sebuah syair jurnalistik yang ditulis oleh Muhammad Saleh. Syair ini mengisahkan tentang letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda pada Agustus 1883. Syair ini juga merupakan karya sastra tertua.
[2] Remahan batu gunung