Senin, 25 Januari 2016

HUJAN BULAN JUNI (SAPARDI DJOKO DAMONO)


Awalnya, ada ketakutan bahwa buku ini tidak akan sebaik puisi-puisinya SDD, tapi ternyata keduanya menarik dengan caranya masing-masing. SDD juga walaupun menulis novel ternyata tidak bisa lepas dari bahasa-bahasa puitis ciri khasnya. Namun, bahasa-bahasa puitis itu menjadi lebih mudah diterjemahkan karena (harus) menjadi satu rangkaian yang (harus) dapat dipahami dalam cerita. Salah satu bahasa puitisnya ada di hal.81 saat ia menerjemahkan tentang kesepian.

"Kesepian adalah benang-benang halus ulat sutera yang perlahan-lahan, lembar demi lembar, mengurung orang sehingga ulat yang ada di dalamnya ingin segera melepaskan diri menjadi wujud yang sama sekali berbeda, yang bisa saja tidak ingat lagi asal-usulnya."

Di halaman terakhir juga diselipkan 3 puisi pendek yang penafsirannya dikembalikan kepada pembaca. Saya sendiri kurang bisa menafsirkan puisi karena lebih menikmati kata-kata yang berpadu di dalamnya ketimbang mencoba-coba memahami maksud apa yang hendak disampaikan penulisnya.

Benar jika di beberapa review yang saya baca bahwa hanya SDD yang boleh menulis begini. Hanya SDD yang boleh menulis satu bab sebanyak dua halaman yang berisi dua paragraf, dan dua kalimat saja. Hanya SDD yang boleh menulis satu bab sebanyak 5 halaman dan full transkrip percakapan tanpa narasi sedikit pun. Hanya SDD yang boleh menulis tentang Jakarta sebanyak 16 baris dan tanpa tanda koma. Hanya SDD yang boleh menulis begini...

Membaca buku ini, saya seolah tidak diberi ruang untuk berhenti berpikir. Padahal tema yang diangkat termasuk ringan. Namun suguhan kata-kata puitis yang disajikan oleh SDD, dialog-dialog cerdas yang dilontarkan oleh tokoh-tokohnya, serta selipan humor/rayuan yang tidak biasa membuka ruang imajinasi yang lebih luas lagi dari sekedar tentang cinta sepasang anak manusia yang berbeda keyakinan.

Satu kutipan yang saya suka dari buku ini,
"...bahwa kasih sayang adalah Kitab Suci yang tersirat. Bahwa kasih sayang beriman pada senyap."

Sumber gambar :https://rumahbaca.wordpress.com/2016/05/04/hujan-bulan-juni/



































Rabu, 20 Januari 2016

CERITA BUAT PARA KEKASIH (AGUS NOOR)





Biasanya untuk sebuah antologi, saya membutuhkan waktu yang sangat singkat untuk selesai membacanya. Kadang sehari, maksimal tiga hari. Tapi buku ini, buku yang saya beli karena nama besar Agus Noor ternyata membutuhkan waktu sampai 4 hari menyelesaikannya. Kenapa? 

Pertama karena membaca kisah-kisah dalam cerita ini ternyata tidak bisa buru-buru. Setiap kata, setiap kalimat, setiap cerita seperti meminta untuk dibaca perlahan. Sangat puitis

Kedua, karena setiap saya berhenti sejenak dari membaca buku ini, ternyata daya tarik buku ini tidak terlalu kuat untuk membuat saya segera ingin menyelesaikannya. 

Semua cerita dalam buku ini sangat 'Agus Noor'. Sexy, kelam, twist ending, puitis, dramatis, tragis, dan bikin meringis. Jika ada buku yang judulnya manis tapi bisa membuat pembaca mimpi buruk tentang istri yang diawetkan di dalam akuarium atau tentang ulat bulu yang memenuhi dinding rumah sehingga dinding rumah itu terlihat berdenyut atau tentang perempuan yang matanya dicongkel keluar...hanya ini bukunya. Namun tidak hanya melulu soal cinta dan kisah-kisah yang tragis, buku ini juga berisi sindiran-sindiran terhadap situasi politik dan keamanan di Indonesia. Seperti MEMORABILIA KESEDIHAN yang bercerita tentang kisah di balik peristiwa Bom Bali atau MATINYA SEORANG DEMONSTRAN yang bercerita tentang kehidupan aktivis di masa Orde Baru.

Oh, ya...foto-foto yang bertebaran di sepanjang halaman buku ini, mungkin karena fotonya hitam putih, mungkin karena foto-fotonya termasuk 'berani',atau mungkin karena imajinasi saya yang terlanjur liar sehingga selain memanjakan mata juga menambah suasana mencekam yang tercipta dari tulisan-tulisan Mas Agus (biar akrab).

Akhirnya, cerpen favorit saya adalah GERIMIS DALAM E MINOR. Entah kenapa, cerpen ini menurut saya begitu utuh. Bukan cerpen dengan twist ending. Bukan juga cerpen yang kisahnya miris atau sadis. Tapi cerpen ini indah dengan segala analoginya, konfliknya yang smooth, dialog-dialog cerdasnya, dan diakhiri dengan ending yang sudah terduga namun tetap saja menyentuh. Dan lagian, cinta rahasia, siapa yang tidak punya? ; )

"Kesedihan memang terasa lebih pedih dalam ingatan. Tahukah kau, gerimis menjadi lebih menyedihkan saat kau tak ada. Dan dalam ingatanku, gerimis itu selalu datang." (GERIMIS DALAM E MINOR)

Selasa, 05 Januari 2016

HIROSHIMA KETIKA BOM DIJATUHKAN (JOHN HERSEY)



"Seratus ribu orang terbunuh oleh bom atom dan keenam orang ini adalah sebagian dari mereka yang selamat. Mereka masih saja bertanya-tanya, mengapa mereka tetap hidup ketika begitu banyak orang lain mati..."

Kisah dari 6 orang yang berhasil selamat dari peristiwa Hiroshima. Sangat menggetarkan dan membangkitkan rasa syukur yang luar biasa. Cerita jurnalisme yang disajikan dengan gaya bercerita seperti novel, membuat pembaca seolah bisa menyaksikan kengerian yang sama. 

Buku ini juga memperlihatkan kesantunan bangsa Jepang yang luar biasa. Bahkan saat sudah menderita, masih dengan sopannya mereka berkata, "Tasukete kure," (Tolong selamatkan kami jika anda berkenan). Diceritakan juga bahwa orang yang tidak terluka dalam peristiwa itu merasa sangat malu sehingga ia terus berkata berulang-ulang kepada orang-orang yang terluka, "Maafkan saya karena tidak punya beban sepertimu. Maafkan saya."

"Sebagai seorang Kristiani, hatinya sangat sedih melihat mereka yang terperangkap. Sebagai seorang Jepang, ia merasa sangat malu karena tidak terluka." (Hiroshima, hal:54)

Buku ini menggambarkan bahwa dalam sebuah perang, rakyatlah yang akan paling menderita. Namun bagi bangsa Jepang, penderitaan itu mereka terima dengan tenang. 

"Orang-orang yang terluka begitu tenang : tidak ada yang mengeluh, apalagi berteriak kesakitan. Bahkan, anak-anak kecil pun tidak menangis. Begitu banyak orang yang meninggal tanpa suara."

Buku yang sangat menyentuh rasa kemanusiaan. Membangkitkan kengerian sekaligus simpati. Mencengangkan bagaimana negeri ini berbenah dari sebuah tragedi yang besar. Di beberapa halaman, bahkan ada beberapa kisah yang bisa mengurangi nafsu makan. 

Sumber gambar : https://www.tokopedia.com/tokobukudesain/buku-hiroshima-ketika-bom-dijatuhkan

Senin, 04 Januari 2016

JEJAK MATA PYONGYANG (SENO GUMIRA AJIDARMA)




"Please don't take the picture of the people."

"Why?"
"The people are not beautiful."
(Jejak Mata Pyongyang hal.36)

Buku yang disesali oleh SGA karena tidak segera menuliskannya 10 tahun yang lalu ini, banyak membuka mata saya tentang keadaan Pyongyang sebenarnya. Mungkin saat buku ini terbit, keadaan sudah berubah di sana, tapi saya yakin tidak terlalu banyak. Foto-foto yang mendominasi buku ini bercerita banyak tentang keseragaman, ketakutan, indoktrinasi, dan pengawasan ketat yang melekat. Cerita-cerita yang dihadirkan oleh SGA mengenai hal-hal tidak biasa yang ada di sana juga menjadi sangat menarik karena diceritakan dengan bahasa yang (kelewat) santai dan berbumbu humor. Bermula dari ceritanya soal letak hotel yang tidak biasa, restoran tanpa menu makanan, diawasi oleh intel karena kebiasaannya memotret, pertanyaan 'are you believer' yang terasa aneh, kebebasan berkesenian tanpa kebebasan berekspresi, narsisme pemimpin yang luar biasa, larangan untuk memotret orang, larangan memotret pemimpin mereka dengan setengah-setengah, dan masih banyak lagi. Membaca sekaligus melihat semua hal menarik tersebut, membuat buku ini tuntas hanya dalam beberapa jam saja. 

Terakhir, SGA menutup buku ini dengan kalimat yang bijak.

"Akan menjadi baik atau menjadi buruk bagi bangsa Korea di belahan utara, meski memang sambil lalu telah berpendapat, saya tidak berada dalam kedudukan yang memadai untuk memberikan penilaian akhir-segalanya kembali ke tangan bangsa Korea, untuk merebut sendiri kebebasannya, jika memang pembebasan merupakan suatu jawaban."

Sumber gambar:https://www.goodreads.com/review/show/1264600576